Intip Kejayaan Majapahit di Bajang Ratu
Sejarah soal Majapahit memang masih banyak teka-teki. Namun, setidaknya candi atau gapura Bajang Ratu memberi bukti keberadaan kerajaan besar ini, sekaligus seolah menjadi ruang intip untuk melihat kebesarannya.
Berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Gapura Bajang Ratu terawat dengan baik. Bahkan, dari jalan yang jaraknya sekitar 100 meter, gapura itu tampak indah.
Padahal, diperkirakan gapura itu tempat keluar dari sisi belakang keraton. Jika gapura belakang saja sudah indah, apalagi gapura depan dan keraton Majapahit dulu.
Mengunjungi gapura ini, imajinasi dan lamunan bisa membayangkan betapa megahnya Majapahit dulu. Kerajaan yang terbesar di Aseia Tenggara pada masanya dan menguasai seantero Nusantara itu, memiliki peradaban yang sudah tinggi.
Tak hanya gapura, di sekitar Trowulan juga ada kolam besar, juga kanal-kanal, serta Candi Tikus yang menjadi kesatuan peninggalan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Dalam catatan Negarakertagama, Jayanegara meninggal dunia pada tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 Masehi).
Bertinggi 16,5 meter, panjang 11,5 meter, dan lebar 10,5 meter, gapura ini diberi nama Bajang Ratu sebagai sebutan Jayanegara yang juga raja Majapahit kedua. Jayanegara diperkirakan diangkat sebagai raja saat masih kecil. Bajang berarti kecil atau cacat. Ada dugaan pula, Jayanegara pernah terjatuh dan cacat. Sehingga, dia disebut Ratu Bajang atau Bajang Ratu. Sehingga, gapura tempat dharma Jayanegara itu diberi nama Bajang Ratu.
Gapura ini terbuat dari batu bata merah. Namun presisinnya sangat bagus. Bahkan, arsitekturnya sangat rumit dan cerdas. Relief-reliefnya juga bagus, rapi, dan halus.
"Dulu, keraton dan bangunan lain sangat mungkin dibuat dengan bahan yang mudah rapuh seperti batu bata merah dan kayu. Sebab itu, sisa-sisa kerajaan Majapahit banyak yang musnah," jelas Sugeng, salah satu karyawan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, kepada Tim Gowes Jurnalistik: Pantau Jalur Mudik 2011 dari Kompas.com.
Dari gapura itu, sudah bisa dilihat betapa tinggi peradapan masa Majapahit. Arsitekturnya memengaruhi arsitektur Jawa dan Bali hingga sekarang.
Disebutkan Sugeng pula, perekonomian zaman Majapahit juga sangat maju. Bahkan, saat itu sudah digunakan uang. Sehingga, ada peninggalan kepeng (koin mata uang Majapahit).
"Sangat mungkin, dulu di Trowulan menjadi pusat kebudayaan Majapahit. Bajang Ratu menjadi salah satu peninggalan kebudayaan besar itu," ujar Sugeng.
Orang luar juga sudah mengapresiasi keberadaan Bajang Ratu sebagai peninggalan penting. Bahkan, gapura ini sudah dirawat sejak zaman Raffles pada 1825. Artinya, Raffles pun mengakui pentingnya gapura itu sebagai cagar budaya, sekaligus bukti untuk mengintip kebesaran Majapahit.
Karena sempat dirusak dan dicuri reliefnya, gapura ini kemudian mendapat penjagaan ketat. Pemerintah juga mencoba merawat dan menjadikannya sebagai tempat wisata kultural yang penting. Bahkan, pada 1992, pemerintah Indonesia melakukan renovasi, sehingga Bajang Ratu menjadi lebih indah seperti sedia kala.
sumber
Sejarah soal Majapahit memang masih banyak teka-teki. Namun, setidaknya candi atau gapura Bajang Ratu memberi bukti keberadaan kerajaan besar ini, sekaligus seolah menjadi ruang intip untuk melihat kebesarannya.
Berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Gapura Bajang Ratu terawat dengan baik. Bahkan, dari jalan yang jaraknya sekitar 100 meter, gapura itu tampak indah.
Padahal, diperkirakan gapura itu tempat keluar dari sisi belakang keraton. Jika gapura belakang saja sudah indah, apalagi gapura depan dan keraton Majapahit dulu.
Mengunjungi gapura ini, imajinasi dan lamunan bisa membayangkan betapa megahnya Majapahit dulu. Kerajaan yang terbesar di Aseia Tenggara pada masanya dan menguasai seantero Nusantara itu, memiliki peradaban yang sudah tinggi.
Tak hanya gapura, di sekitar Trowulan juga ada kolam besar, juga kanal-kanal, serta Candi Tikus yang menjadi kesatuan peninggalan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Dalam catatan Negarakertagama, Jayanegara meninggal dunia pada tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 Masehi).
Bertinggi 16,5 meter, panjang 11,5 meter, dan lebar 10,5 meter, gapura ini diberi nama Bajang Ratu sebagai sebutan Jayanegara yang juga raja Majapahit kedua. Jayanegara diperkirakan diangkat sebagai raja saat masih kecil. Bajang berarti kecil atau cacat. Ada dugaan pula, Jayanegara pernah terjatuh dan cacat. Sehingga, dia disebut Ratu Bajang atau Bajang Ratu. Sehingga, gapura tempat dharma Jayanegara itu diberi nama Bajang Ratu.
Gapura ini terbuat dari batu bata merah. Namun presisinnya sangat bagus. Bahkan, arsitekturnya sangat rumit dan cerdas. Relief-reliefnya juga bagus, rapi, dan halus.
"Dulu, keraton dan bangunan lain sangat mungkin dibuat dengan bahan yang mudah rapuh seperti batu bata merah dan kayu. Sebab itu, sisa-sisa kerajaan Majapahit banyak yang musnah," jelas Sugeng, salah satu karyawan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, kepada Tim Gowes Jurnalistik: Pantau Jalur Mudik 2011 dari Kompas.com.
Dari gapura itu, sudah bisa dilihat betapa tinggi peradapan masa Majapahit. Arsitekturnya memengaruhi arsitektur Jawa dan Bali hingga sekarang.
Disebutkan Sugeng pula, perekonomian zaman Majapahit juga sangat maju. Bahkan, saat itu sudah digunakan uang. Sehingga, ada peninggalan kepeng (koin mata uang Majapahit).
"Sangat mungkin, dulu di Trowulan menjadi pusat kebudayaan Majapahit. Bajang Ratu menjadi salah satu peninggalan kebudayaan besar itu," ujar Sugeng.
Orang luar juga sudah mengapresiasi keberadaan Bajang Ratu sebagai peninggalan penting. Bahkan, gapura ini sudah dirawat sejak zaman Raffles pada 1825. Artinya, Raffles pun mengakui pentingnya gapura itu sebagai cagar budaya, sekaligus bukti untuk mengintip kebesaran Majapahit.
Karena sempat dirusak dan dicuri reliefnya, gapura ini kemudian mendapat penjagaan ketat. Pemerintah juga mencoba merawat dan menjadikannya sebagai tempat wisata kultural yang penting. Bahkan, pada 1992, pemerintah Indonesia melakukan renovasi, sehingga Bajang Ratu menjadi lebih indah seperti sedia kala.
sumber